SEAKAN sudah jamak setiap hari
menghirup udara Jakarta yang selalu
bercampur debu tebal dan asap knalpot,
ditambah panasnya terik matahari yang
menyengat. Apalagi kondisi seperti ini
terjadi setiap hari di ibukota, pedagang
asongan dan peminta-minta berkeliaran
di sepanjang sudut jalan kota. Udara di
Jakarta Utara memang sangat berbeda
dengan Jakarta lainnya. Maklumlah aku
tinggal di daerah yang terkenal dengan
banyak pantai, panas sudah menjadi hal
biasa bagi penduduk di daerah
pesisir.Terutama pada mobil-mobil besar
pengangkut barang, atau biasa disebut
dengan Container yang selalu ada di
jalan raya. Pemandangan yang selalu
kulihat setiap hari ketika berangkat dan
pulang sekolah.Belakangan ini juga
banyak peristiwa yang tak diduga-duga
terjadi. Mulai dari berita peristiwa
dalam negeri sampai mancanegara, yang
menggemparkan. Dari dalam negeri
sendiri adalah peristiwa yang baru-baru
ini terjadi, yaitu amblasnya sebuah
jalan raya menuju Ancol, Jakarta
Utara. Sedangkan berita mancanegara
adalah peristiwa 11.9 mirip sebuah
judul buku tentang peristiwa, yang
sudah lama ditulis oleh seorang penulis
asal Jerman Mathias Brockers. Dan
judul buku tersebut sama dengan
tanggal, mengenai pembakaran Al-
Qur ’an, kitab suci agama Islam.Suasana
makin bergeming saat aku, Aura Aulia
(Ara) gadis berusia 16 tahun sedang
membaca berita-berita di koran. Aku
tertegun, teringat kejadian yang
menimpa ibu. Kecelakan naas itu
terjadi ketika ibu (Alm Hanna) hendak
pergi ke daerah Marunda, Jakarta
Utara. Ibuku Hanna sedang
berkunjung ke rumah pak Husein,
seorang laki-laki paruh baya yang tak
lain adalah kakek kandungku.Setelah
berpamitan untuk pulang, ibuku
ternyata mengalami kecelakaan. Ia
tertabrak sebuah mobil besar
pengangkut barang. Seluruh tubuhnya
remuk, darahnya mengalir deras bahkan
satu matanya hilang.Seluruh keluarga
tak bisa membendung air mata.
Terutama bagiku yang sangat dekat
dengan ibu. Aku merasa tak punya
semangat untuk hidup tanpa ibu,
karena aku anak yang sangat manja dan
penurut sehingga ibu sering kali tak
membolehkanku untuk bermain terlalu
jauh. Berbeda dengan kakak
perempuanku Indira Imandara (Dira) ia
agak sedikit pembangkang, dan selalu
iri denganku. Meski peristiwa pahit itu
sudah satu tahun berlalu, namun
bagiku dan kak Indira kejadian itu
baru terjadi kemarin. Kemarin sore,
saat sinar dari barat mulai tertelan oleh
datangnya malam. Sampai kapan pun
peristiwa itu tak akan kulupakan
dalam benakku. “Ibu! Ibu!”
Aku berteriak-teriak memanggil ibu di
dalam rumah. Seperti orang gila saja
aku ini, rasanya sulit sekali
mengendalikan emosi.Kak Indira yang
mendengar suara isakan tangisanku,
segera menghampiri. Mimik wajahnya
terlihat kesal, wajahnya memancarkan
aura tak menyenangkan. “Ibu
sudah mati! Jadi jangan sebut-sebut
namanya lagi. ” kata kak Indira dengan
suara menggelegar, seraya berlalu
meninggalkanku. Semenjak
kematian ibu, sikap kak Indira padaku
semakin semena-mena. Ia sering kali tak
memberikan uang saku sekolah, padahal
gajinya lebih dari cukup. Selain itu kak
Indira, jarang sekali pulang ke
rumah.Perlakuan kak Indira tak seperti
layaknya seorang kakak kandung, semua
pekerjaan rumah akulah yang
mengerjakannya. Mulai dari mengepel
rumah, menyapu, mencuci piring,
mencuci baju, sampai membereskan
kamar tidurnya pun harus aku.
Terkadang kakak mempunyai panggilan
khusus untukku, yaitu jibir-jibir
(Teledor dan jorok).Sekarang aku
bahkan tak memiliki perisai yang selalu
ada di dekatku. Sebelumnya aku juga
sempat tinggal dengan kakek, tapi
kakek harus menutup usia. Ia
meninggal karena faktor usia. Hidupku
menjadi tak menentu, dulu tubuhku
gemuk. Tapi sekarang aku nampak
kurus.“Bereskan semua pakaianmu dan
taruhlah ke dalam tas ini!” ia melempar
sebuah tas berukuran besar, tas itu
biasa aku pakai saat pulang
kampung. “Untuk apa?” kataku menatap
lurus ke mata kak Indira.“Jangan
banyak tanya?!”Aku tak berani
berontak, melihat matanya membesar
rasanya tubuhku tak bisa berkutik lagi.
Berapa menit berlalu, aku yang baru
saja selesai memasukkan semua
pakaianku ke dalam tas biru. Harus
dikejutkan oleh kedatangan seorang
lelaki tua bertubuh besar dan tinggi,
wajahnya nampak begitu asing. Aku
tak pernah melihatnya, tapi untuk apa
ia datang ke rumah ini. “Kak Indira,
siapa dia?” Tak ada kata yang terlontar
dari mulutnya, dia hanya tersenyum.
Tetapi aku melihat sebuah senyuman
ketir diwajahnya, senyum yang
menakutkan. Kakak langsung menarik
lenganku, dan membawaku ke hadapan
lelaki itu. “Ini dia...” Lekaki tua itu
berhenti menghisap rokoknya. Ia
bangkit sedikit meluruskan
punggungnya, tanpa berkedip sedikit
pun dari wajahku. Tubuh gemetar, rasa
takut dan bayangan buruk terngiang-
ngiang dalam benakku.Kepalaku
tertunduk tak berani melihat matanya,
lelaki itu menepuk pundakku. Ia terus
menatapku, lalu tertawa. Aku
tercengang jantungku berdetak
kencang. “Gadis yang manis...” aku
tersentak, terkejut akan pernyataan itu.
Kak Indira mendekatiku, dan
membisikkan sesuatu “Kamu, akan
tinggal bersamanya.”“Apa?” aku
melepas genggaman tangan kak Indira.
Berlari menuju kamar, tetapi ketika
ingin menyentuh pintu kamar. Kakak
menarik lenganku, aku berusaha
mempertahankan tubuhku agar tak
terbawa olehnya. Tapi yang terjadi
tubuhku malah terjatuh, ia
menjulurkan lengannya dan
membangunkanku. “Dia ayahmu... jadi
kamu harus tinggal dengannya.
Hidupmu akan jauh lebih terjamin,
kalau tetap tinggal bersamaku kamu
akan jadi gila !” aku tak mengerti
maksud perkataannya, mana mungkin
dia ayahku. Yang aku tahu ayah sudah
meninggal, empat tahun lalu. “Kakak
bohong, pasti dia orang yang ingin
membeliku. Kakak ingin menjualku,
dan kakak juga tahu aku tak mau
mengikuti orang asing. Sekarang kakak
mengarang cerita, dengan mengatakan
dia ayahku. ” Hardikku, ini pertama
kalinya aku berkata dengan nada
meninggi.Sebuah tamparan nyaris
menyentuh pipiku. “Ayahku sudah
mati, tapi ayahmu belum.”Kak Dira
menarik tanganku, tanpa menjelaskan
perkataanya yang terakhir. Lelaki itu
sudah berada di dalam mobilnya, aku
semakin takut. “Masuk ke dalam mobil!”
ucapnya pelan, lelaki di dalam mobil
itu tersenyum lebar. “Kak!” kak Dira
tak memperdulikanku, ia menutup
pintu mobil. dan masuk ke dalam
rumah untuk mengambil tasku yang
sudah berisi pakaian.Sebelum mesin
mobil sedan berwarna putih itu
dinyalakan. Dari jendela mobil yang
terbuka kak Indira menggenggam
tanganku, matanya tak terlihat sebuah
kebencian lagi. Supir lelaki itu,
langsung menginjak pedal rem dan pergi
dari rumah ibu. Aku enggan
meninggalkan rumah yang menjadi
kenangan manis bersama ibu dan tentu
saja ayahku. Bagaimana mungkin kak
Dira mengatakan kalau lelaki ini adalah
ayahku.Langit makin mendung. Aku
tak bisa berpikir jernih, aku merasa
kakak adalah orang yang paling jahat. Ia
pasti menjualku pada lelaki ini, kakak
tak pernah sayang padaku. “Umurmu 16
tahun!”Aku mengangguk. Bulir-bilir air
mata menetes di pipiku. Ia mencoba
menghapus air mataku, tapi aku
menghadangnya. “Jangan menangis.
Wajah manismu tak terlihat lagi
sekarang. "“Memangnya kamu siapa,
melarangku menangis. Ini kan
airmataku sendiri. Aku nggak
memintanya darimu kan ?” ucapku
kesal.Tiba-tiba lelaki itu tertawa. Ia
terus tersenyum padaku, lagi-lagi aku
hanya tertunduk. “Maaf, aku tak
bermaksud berkata kasar.”Perjalanan
terasa sangat membosankan, suasana di
dalam mobil menjadi hening. Ketika ia
sedang engah, aku memperhatikan
wajahnya. Apa yang dikatakan kak
Dira itu benar! Dia ayahku? Hidung,
matanya yang besar. Tak begitu mirip
denganku, mungkin kak Dira hanya
mengarang.Beberapa jam kemudian,
mobil sedan ini berhenti di depan
sebuah gerbang rumah. Rumah yang
sangat besar, pandanganku juga tersita
pada rumah itu. “Ayo kita keluar,”
bunga-bunga anggrek yang sedang
bermekaran, seakan menyambut
kedatanganku. Lelaki itu membawaku
masuk ke dalam. Nuansa seni terasa
sekali di dalam rumahnya, lukisan-
lukisan penari dari seluruh daerah di
Indonesia tergantung rapi di setiap
dinding. Juga terdapat patung-patung
yang terbuat dari kertas koran, dan
dicampur dengan batu bata yang
dihancurkan.Aku menyisiri setiap
ruangan yang ada di rumah ini, tapi
dari tadi aku hanya melihat lukisan dan
patung. Ada sebuah patung, mirip
Patung David karya Michaelangelo.
Tapi bedanya patung ini memakai baju
dan bukan laki-laki. Patung ini mirip
sekali dengan... “Kamu pasti tahu siapa
patung itu.”“Aku... patung itu mirip
wajahku.”Lagi-lagi ia hanya tertawa.
Aku kesal sekali melihat pola hidupnya,
rupanya ia menghabiskan waktu hanya
untuk membuat patung dan melukis.
Tapi apa semua ini ia yang
mengerjakannya. Entahlah... “Apa bapak
yang membuat lukisan dan patung ini?”
aku mencoba bertanya, meski sedikit
ragu dengan jawabannya. “Nggak
semua! Aku dibantu oleh adik laki-
lakiku. ” Ia pun pergi dari
hadapanku.“Tunggu! Aku ingin
bertanya, apa bapak ayah saya?”Ia
memutar kembali tubuhnya ke
hadapanku, lalu kedua lengannya
menepuk pundakku. Sedikit
kuperhatikan rupanya ia senang sekali
menepuk pundakku. “Ya. Saya memang
ayah kamu. Kamu sudah tahu, jadi
saya nggak usah menjelaskannya
lagi. ”Bapak itu hanya tersenyum, ia
memberikan jawaban yang sebenarnya
bukan jawaban seperti itu yang kumau.
Aku nampak bingung sejenak, lalu ia
memintaku untuk melanjutkan langkah
ke ruang berikutnya.Ruangan itu
nampak seperti kamar, seperti biasa
banyak sekali lukisannya.“Ini kamarmu!
Masuklah ke dalamnya,” aku tertegun.
Lalu bapak yang sedari tadi belum
kutahu namanya, pergi dari hadapanku
menuju ruang belakang.Tiba-tiba
seorang laki-laki berkepala botak masuk
dalam ruangan, yang sekarang menjadi
kamarku. “Kamu anaknya kak Rahmat
yah! Selamat datang, aku
adiknya. ”“Rahman,” kataku lirih, ia
adalah adiknya pak Rahmat. Kejutan
apa lagi ini. Ia temanku sewaktu SMP
yang sudah pindah sejak kelas dua, dan
sejak itu tak ada kabar lagi. Aku juga
harus tercengah oleh keadaannya
sekarang. Ia menggunakan kursi roda,
lalu di mana kedua kakinya.“Kakimu?”
ia tersenyum, senyum yang mirip sekali
dengan kakaknya pak Rahmat. “Aku
telah kehilangan kedua kakiku. Dua
tahun yang lalu kakiku terpaksa harus
di amputasi setelah aku mengalami
kecelakaan. Kedua tulang kakiku
hancur. Sekarang kakiku hanya sampai
dengkul saja. Dan hidupku sekarang
bergantung pada kursi roda. Jangan
ditanya bagaimana hancurnya aku saat
itu. ” Aku bisa merasakan pahitnya
kehilangan sesuatu, tapi kenapa ia tak
menunjukkan hal itu. Aku kehilangan
ayah dan ibu bagaikan kehilangan
kedua kakiku, tapi ia yang benar-benar
sudah kehilangan kedua kakinya tetap
tersenyum selebar itu. “Kenapa setelah
kecelakaan itu, kamu nggak kasih kabar.
Atau... ”“Ketika itu aku malu, aku
merasa tak ada satu orang pun
menerima keadaanku sekarang.
Mungkin teman-teman tak mau lagi
berteman denganku. Tapi aku tahu,
sekarang aku tak malu dengan
kondisiku ”“Apa? Picik sekali
pikiranmu? Apa kamu pikir karena
kamu duduk di kursi roda maka aku
dan yang lain tak mau lagi berteman
denganmu ?”“Itu kan dulu, sudah
jangan marah padaku. Aku senang
ternyata kamu adalah keponakanku,”
ujar Rahman pelan.“Memangnya aku ini
anaknya yah?” balasku sedikit
bertanya. Rahman hanya mengangkat
kedua bahunya, ia sama anehnya
dengan kakaknya. Apa mereka sudah
ada perjanjian, jadi setiap aku bertanya
tak lain hanya tersenyum.Tak berapa
lama Rahman berlalu, aku segera
berganti baju. Setelah berganti baju,
aku membiarkan tubuhku terenyak di
atas ranjang kayu, ranjang yang berukir
batik. Sejenak aku memejamkan
mata, tapi mataku tak bisa menutup.
Imajinasiku melayang ke sebuah
harapan yang selalu kuinginkan, yaitu
aku ingin ayah dan ibu kembali, dan
sebuah harapan baru mengetahui siapa
pak Rahmat. “Kalau benar ia
ayahku...” anganku mengawang, tiba-
tiba senyum sendiri.Pagi harinya cuaca
sangat cerah sekali, aku berangkat ke
sekolah. Sebuah sedan putih sudah
bersiap mengantarkanku. Tetapi saat
pulang sekolah cuaca kali ini berbeda
dari sebelumnya, langit tampak gelap.
Aku pulang sekolah lebih awal, jadi
supir pak Rahmat tak menjemputku.
Tak banyak orang berlalu lalang
sekarang. Aku memandang ke atas dan
samar mendengar suara petir. Aku tahu
sebentar lagi akan turun hujan, tapi
aku terus melangkah. Tak peduli
kendala apa yang akan kulalui dalam
perjalananku menuju rumah. Tak lama
tubuhku pun diguyur hujan. Sementara
orang-orang mencari tempat berlindung,
aku terus berjalan, mencari angkutan
umum.Akhirnya aku sampai ke rumah
pak Rahmat, keadaan di sini sangat
kering. Berbeda di daerah
sekolahku. “Assalamualaikum!” ucapku
lemas, rupanya air langit itu membuat
tubuhku menggigil.
“ Waalaikumsalam, Ara. Kamu
kehujanan, jangan pulang kalau masih
hujan. ” Pak Rahmat menjawab
salamku, dan memintaku untuk segera
mengganti baju yang basah.
Setelah aku mengganti baju, ia
membawakan segelas susu. “ Nggak
usah repot-repot, aku bisa membuatnya
sendiri. ” “Nggak apa-apa. Ayah
senang kok!” Ayah! Rasanya
canggung sekali, aku mendengar kata
itu darinya. Sesungguhnya ia orang
yang sangat baik, walaupun aku baru
mengenalnya. Tapi entah kenapa aku
belum mau menyebutnya ayah, ia hanya
orang asing dan mungkin akan menjadi
asing untukku.
“ Istirahatlah...” Ia menutup
pintu kamar, sambil tersenyum ramah.
“ Ayah, hahaha!” Aku tak pantas
menerima bantuannya setelah apa yang
kupikirkan tentangnya. Meski
perlakuan bapak itu sangat baik, aku
masih belum mengerti kenapa ia
ayahku. Tiba-tiba aku teringat pada kak
Dira, kalau aku anak pak Rahmat
seharusnya kakak tinggal bersamaku
juga. Dan pada perkataanya ia pernah
berkata kalau ayahnya sudah mati, tapi
ayahku belum. “Aku harus tahu kenapa
kakak berkata seperti itu.”Senja
terkapar menurun diganti malam
bertabur bintang di sela-sela awan.
Rasanya malam ini udara berbau manis
dan segar, pasti asyik sekali jalan-jalan
ke pantai ancol. Mendengar deburan
ombak yang bernyanyi, juga suasana
hening di tengah keramaian.Keesokan
harinya, aku berniat untuk
mengunjungi kak Dira. Sebelum itu
aku juga harus berpamitan pada pak
Rahmat. Setelah mendapat izin
darinya, segera kulangkahkan kakiku
untuk menemui kakak. Tadinya pak
Rahmat meminta supirnya untuk
mengantarkanku, tetapi aku menolak
dengan alasan tentu saja tak mau
merepotkan. Seorang wanita
berdiri di halte, perawakannya mirip
sekali dengan kak Dira. Semakin dekat
kuperhatikan ternyata itu memang
kakak. Rupanya ia sedang menunggu
angkutan umum. “Kak
Dira,” Ia sempat menolehkan
tubuhnya, tapi ketika melihatku ia
langsung mempercepat langkahnya dan
pergi meninggalkan halte. Untungnya
aku dapat mengejar kak Dira yang tak
terlalu jauh, kuraih lengannya dan
langkahnya pun terhenti.
“Kakak tunggu, jangan pergi!”
pekikku. Wajah kak Dira sangat
lusuh, ia seperti kelelahan dan jarang
tidur. Lingkar hitam di bawah matanya
begitu terlihat. “Mau apa?”
ucapnya pelan. Mobil dan motor
di jalan raya sekonyong-konyong
berhenti. Lampu merah!
Pikirku. “Kakak, kalau pak
Rahmat adalah ayahku bukankah itu
juga ayahmu. Kenapa kakak nggak ikut
tinggal bersamaku ?” Kak Dira
tertawa, tawa yang sangat keras. “Apa
kamu pikir mereka adalah
orangtuaku... ” Aku terdiam,
apa yang dikatakannya aku benar-benar
tak mengerti. Mereka! Apa yang kakak
maksud adalah ibu dan pak Rahmat.
Sejenak aku berpikir, mungkinkah ibu
dan pak Rahmat bukan
orangtuanya. “Apa ibu dan pak
Rahmat bukan orang tuamu.”
“Yeah!” “Lalu, kalau bukan ibu
dan ayah atau pak Rahmat. Siapa orang
tua kakak ?” Lagi-lagi ia hanya
tertawa. Tapi kali ini ia tak tertawa
lepas, terlihat ada kesedihan yang
disembunyikan. “Kedua orangtuaku
tuna rungu, mereka menitipkanku pada
ibu. Ayah yang kamu kenal adalah
kakak laki-laki ibu, dan pak Rahmat itu
hanya ayahmu bukan ayahku. Maka
dari itu ibu teramat sayang
padamu... ”Aku menatap mata kak Dira.
Nampak aku mencari kebohongan di
mata kakak. Tidak ada, yang ada hanya
kejujuran yang ada di matanya.
Mataku berkaca-kaca. "Terima kasih,"
ucapku tersendat menahan haru.
“ Untuk apa?” aku menggeleng, dan
pergi dari hadapan kak Dira. Hari ini
udara terasa sejuk, matahari bersinar
sangat terang. Berjalan di bawah
panasnya terik matahari serasa berjalan
di bawah pohon yang rindang.Sekarang
hatiku tak lagi mencari dan
bertanya...Aku tahu apa yang kakak
rasakan selama ini, kenapa ia begitu iri
padaku. Ia bukan orang yang jahat, ia
memperkenalkanku pada ayah secara
tiba-tiba. Hanya saja ia ingin melihat
kehidupanku bahagia. Kalau aku terus
tetap tinggal bersamanya, aku makin
terpuruk karena bayang-bayang ibu
semakin menghantui otakku. Dan aku
juga tak pernah tahu siapa ayahku
sesungguhnya. Tanpa terasa aku
berjalan cukup jauh, sampai-sampai aku
tak mengenal waktu. Kulihat mega di
langit sudah bermunculan sangat tebal.
Meski senja sudah menghadang di
barat, matahari mulai menatap nanar.
Namun sinarnya masih ingin tetap
menyentuh bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar